09 October 2007

Mencermati Jejak Peninggalan Bung Karno (2-Habis)

IDEOLOGI MENJADI PENUNTUN TINDAKAN PARTAI

Bagi sebuah partai politik, apalagi bagi partai yang merupakan alat perjuangan rakyat, tentu saja ideologi dalam arti positif yang harus memiliki seperangkat gagasan yang harus mampu menjelaskan realitas permasalahan terpenting yang dihadapi masyarakat dan bagaimana memecahkannya. Karena itu, sebuah ideologi yang baik adalah yang memenuhi prinsip ilmiah, rasional (masuk akal), objektif (sesuai realitas) dan radikal (mengakar).

Sebagai organisasi perjuangan politik, partai harus mampu menangkap dan memahami persoalan dasar yang dihadapi rakyat. Berdasarkan pemahaman inilah partai merumuskan langkah-langkah perjuangan. Perjuangan untuk mencapai cita-cita masyarakat yang lebih baik, dimana persoalan mendasar tadi tidak lagi ada. Karena itu penting bagi partai untuk memiliki ideologi yang merupakan seperangkat gagasan yang ilmiah, rasional, objektif dan radikal.

Dengan demikian ideologi menjadi penuntun bagi tindakan-tindakan partai dalam mencapai tujuan-tujuannya. Ideologi adalah jiwa dan pemimpinnya partai ! Bahkan seorang ketua partai tidak bisa bertindak di luar atau bertentangan dengan ideologi partai.

Marhaenisme

Pada bagian ini akan dipaparkan sebuah ideologi partai yang digali oleh salah seorang pendiri republic ini. Walaupun terinspirasi oleh gagasan para pemikir di Eropa. Marhaenisme merupakan upaya Bung Karno untuk menerapkan gagasan tersebut dalam konteks Indonesia.

Gagasan utama dari marhaenisme adalah keberpihakan kepada rakyat miskin, rakyat marhaen. Petani miskin, buruh miskin, tukang becak, pedagang kecil yang miskin, rakyat miskin lainnya yang jumlahnya berjuta-juta, bahkan mayoritas rakyat termasuk dalam kelompok ini, adalah kaum marhaen.

Golongan menengah dan kaya justru mendapat hidup dari hasil kerja mereka, kerja para marhaen. Dari manakah kekayaan para tuan tanah di pedesaan kalo bukan dari keringat buruhnya ?

Marhaenisme sangat memperhatikan kondisi objektif dan realitas kehidupan masyarakat kita yang sebagian besar miskin dan dimiskinkan oleh system ekonomi dan politik. Politik marhaen adalah politik yang berjuang untuk membebaskan sebagian besar rakyat Indonesia dari sistem yang menindas dan memiskinkan. Untuk mencapai tujuan itu, Bung Karno menjelaskan bahwa Marhaenisme mengandung dua unsur utama yaitu : Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.

Sosio-Nasionalisme adalah nasionalisme yang berakar dari sejarah Indonesia. Kalau dilihat dari perspektif sejarah, sifat nasionalisme yang dikemukakan Bung Karno itu sesungguhnya mencerminkan sebuah karakter kebangsaan yang khusus yang berbeda dengan nasionalisme yang dilahirkan oleh bangsa-bangsa Barat.

Nasionalisme kerakyatan kita lahir dari suatu pengalaman sejarah penindasan satu bangsa (Indonesia) oleh bangsa lainnya (Barat); sementara nasionalisme Barat tumbuh dan berkembang dari suatu proses penaklukkan (wilayah) dan penundukkan (sering melalui proses penindasan) satu bangsa oleh bangsa lainnya demi kejayaan bangsa dan Negara penakluk.

Perbedaan ini menyebabkan watak dari kedua nasionalisme ini berbeda pula. Nasionalisme kerakyatan berwatak pembebasan (pembebasan dari penindasan, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan) sedangkan nasionalisme Barat berwatak penaklukkan dan penundukkan.

Watak pembebasan dalam Sosio-Nasionalisme sebenarnya termasuk juga unsur kemanusiaan didalamnya. Dalam sebuah pidatonya Bung Karno mengutip Gandhi yang mengatakan bahwa “My Nasionalism is Humanity”, Nasionalismeku adalah kemanusiaan. Kebangsaan kita bukan kebangsaan yang chauvinist, yang menganggap diri paling unggul dari bangsa yang lain seperti nasionalime Hitler dan NAZI-nya.

Nilai kemanusiaan dalam kebangsaan kita mengakibatkan kita mengakui harkat dan martabat bangsa-bangsa lain didunia. Dengan demikian nasionalisme kita berkaitan erat dengan internasionalisme, solidaritas umat manusia sedunia. Solidaritas yang dilandasi oleh perikemanusiaan. Bahwa Nasionalisme ada di taman sarinya Internasionalisme, demikian tandas Bung Karno.

Sosio-Demokrasi berarti demokrasi secara menyeluruh baik politik maupun ekonomi. Sosio-Demokrasi adalah kritik terhadap demokrasi liberal yang cenderung menguntungkan kaum kaya dari masyarakat. Di sinilah konsistensi marhaenisme, bahwa demokrasi harus menjamin terwujudnya pembebasan rakyat dari penindasan yang memiskinkan mereka. Oleh karena itu sosio-demokrasi berarti kedaulatan politik harus berada di tangan rakyat serta demokrasi ekonomi mensyaratkan kedaulatan ekonomi berada di tangan rakyat bukan tangan orang-perorang atau kelompok.

Gagasan mengenai demokrasi ekonomi dan politik muncul karena realitas rakyat miskin yang tertindas, baik secara politik maupun secara ekonomi. Secara politik rakyat menghadapi penindasan dan kesewenang-wenangan kolonialisme (sekarang penindasan dan kesewenangan aparat Negara dan birokrasi yang korup), sementara secara ekonomi rakyat menghadapi penghisapan kapitalisme (sekarang pun masih ada, bahkan ditambah dengan kapitalisme global yang semakin mencengkeram). Bahkan dalam perkembangan sekarang bukan lagi sekedar kapitalisme, melainkan juga telah menjadi neokolonialisme-imperialisme (oleh Bung Karno disingkat menjadi Nekolim).

Paparan singkat ini menggambarkan bahwa sebagai ideologi, Marhaenisme memberikan seperangkat gagasan yang dapat menjelaskan persoalan yang dihadapi sekaligus memberi jalan pemecahannya. Dengan kata lain, Marhaenisme dapat menjadi penuntun bagi perjuangan politik.

Hari ini, kita semua kita semua mungkin masih mendengar bahwa warisan Bung Karno tersebut masih ada. Ironisme Pancasila (Marhaenisme) kini hanya menjadi label semata dan pengikut (Kaum Marhaenis) tidak lebih hanya merupakan klaim belaka. Tetapi satu hal kita semua lupa, bahwa Bung Karno bukan hanya memberikan warisan kepada kita semua. Sebab Pancasila (Marhaenisme) dan Pengikut (Kaum Marhaenis) adalah juga merupakan wasiat yang kelak akan ditagih oleh pengadilan sejarah bagi siapa yang kerap mencatut nama Bung Karno !

  • Penulis adalah :
  • Ketua Umum Gerakan Spirit Pancasila
  • Ketua DPP PDI Perjuangan
  • Anggota DPR-RI
  • Ketua Umum Yayasan Bung Karno (YBK)
Sumber :

Selasa, 12 September 2007 OPINI (Indo Pos)

08 October 2007

Mencermati Jejak Peninggalan Bung Karno (1)

WARISAN YANG DISANJUNG UNTUK DIKHIANATI

Satu hal yang harus tetap diingat dan dicamkan, bahwa Bung Karno mewariskan dua hal yang harus dihargai oleh bangsa ini, yakni ideologi bangsa yaitu Pancasila (baca: Marhaenisme) dan Pengikut (baca: Kaum Marhaenis). Kemenangan PDI-Perjuangan pada Pemilu pun harus dipahami dalam konteks ini. Begitu pula dengan sejumlah partai lainnya yang kurang lebih menggunakan Nasionalisme sebagai platform politiknya. Faktor Megawati Sukarno Putri, sebagai contoh dalam PDI Perjuangan, telah menjadi perantara bangkitnya pengikut Bung Karno atau kaum Nasionalis. Dua faktor warisan Bung Karno ini merupakan prasyarat bagi terbangunnya konsepsi Partai Pelopor, sebuah partainya rakyat Indonesia.

Dari ajaran Bung Karno kita bisa mendapatkan gambaran bahwa partai adalah organisasi politik rakyat yang bekerja untuk mencapai tujuan perjuangan rakyat. Dalam melaksanakan pekerjaan tersebut partai haruslah radikal, menuntaskan masalah sampai ke akar-akarnya.

Pemahaman Bung Karno tentang partai politik tentu saja berdasarkan sejarah kehidupan politik bangsa ini. Oleh karena itu untuk lebih memahaminya kita akan sedikit membahas sejarah partai politik di Indonesia.

Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada tahun 1908, walau sering disebut sebagai organisasi pergerakan pertama bumiputra, namun masih bersifat elitis. Baru pada tahun 1912, ketika Syarikat Islam (SI) didirikan, gerakan kebangsaan muncul dalam bentuk yang lebih modern dan missal. Pada masa ini pembentukan serikat buruh dan organisasi petani dilakukan di berbagai tempat. Demikian juga kaum intelektual turut membuat organisasi politik mereka seperti Indische Partij. Pada tahun 1920-an gerakan kebangsaan mulai menjelma dalam bentuk partai politik. Partai Syarikat Islam (PSI), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah beberapa partai yang dibentuk pada kurun waktu itu. Partai-partai ini dibentuk oleh elemen-elemen gerakan rakyat sebelumnya yang berusaha untuk terus meningkatkan kemampuan politik. Walaupun memiliki perbedaan, ada satu tujuan perjuangan partai yang sama yaitu Indonesia MERDEKA.

Berdasarkan sejarah pembentukan maka tidak heran jika Bung Karno mengatakan bahwa partai harus bersifat radikal dan massal. Massa Aksi adalah taktik penting dari perjuangan partai. Pendidikan politik menjadi program penting dalam rangka menyadarkan massa. Kepeloporan adalah karakter dan fungsi utama partai. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah prinsip perjuangan yang non kooperatif terhadap kolonialisme. Non kooperatif adalah prinsip yang tidak mau bekerjasama dengan kolonialisme karena gerakan kemerdekaan harus menarik garis tegas untuk berhadapan dengan kolonialisme. Kalau kita belajar dari sejarah kepartaian di Indonesia, ada satu fungsi penting partai politik yang sangat menentukan, yakni: kepeloporan! Partai adalah pelopor dari perjuangan rakyat untuk mencapai cita-cita hidup yang lebih baik. Inilah yang dikatakan Bung Karno sebagai “Partai yang memegang obor, partai yang berjalan di muka, partai yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau-ranjau itu sehingga menjadi jalan terang. Partailah yang memimpin massa itu di dalam perjuangannya merebahkan musuh.”

Dalam menjalankan fungsi sebagai partai pelopor, ada beberapa tugas yang harus dijalankan :

  1. Hidup berdekatan dengan massa berarti partai harus terasa kehadirannya dalam kehidupan massa sehari-hari. Bukan hanya 5 (lima) tahun sekali ! Setiap kader partai harus mampu bekerja dan hidup bersama massa, membantu untuk memecahkan persoalan yang muncul di masyarakat. Setiap kader partai harus mampu belajar dari persoalan-persoalan itu. Hanya dengan demikian partai akan dapat menangkap semangat, perasaan dan kemauan dari massa.
  2. Mengolah kemauan massa yang tadinya tidak sadar menjadi sadar. Disinilah pentingnya pendidikan politik melalui propaganda politik yang dilakukan secara terus menerus. Bentuk dan materi pendidikan ini harus sederhana dan mudah dimengerti sehingga dapat dipahami oleh massa. Prinsip yang paling penting adalah pendidikan ini harus mampu membukakan mata massa rakyat tentang akar persoalan yang mereka hadapi dan rakyat harus berjuang merubah nasibnya. Dalam pendidikan politik, partai juga harus menunjukkan jalan dan arah perjuangan sehingga terhindarlah massa dari tindakan-tindakan yang menghancurkan diri sendiri. Jika massa rakyat telah sadar dan tumbuh semangatnya dalam berjuang, maka kita akan masuk kepada tugas ketiga dari partai pelopor yaitu :
  3. Kepemimpinan Politik. Bersatunya kesadaran partai dan massa bukan hanya dalam teori, tetapi juga dalam praktek ! Kesadaran dan semangat massa akan menjadi sia-sia jika tidak diwadahi dan dipimpin di dalam perjuangannya. Partai harus ikut aktif dalam perjuangan ini dengan menggunakan semua perangkat partai. Struktur partai dari pusat sampai ranting harus bekerja demi tercapainya tujuan perjuangan. Demikian juga organisasi massa bentukkan partai atau yang berada dalam pengaruh partai, harus dikerahkan semaksimal mungkin. Semua anggota partai yang duduk dalam legislatif dari tingkat pusat sampai daerah, juga yang berada di eksekutif harus memperjuangkan hal yang sama. Bertentangan dengan perjuangan dan tujuan-tujuannya, berarti berkhianat. Demikian partai pelopornya massa : “menyuluhi massa dan berjuang habis-habisan dengan massa.”

Ideologi

Secara awam, ideologi sering diartikan sebagai dasar falsafah/asas. Ideologi juga sering dikaitkan dengan “ajaran” atau isme. Dalam kehidupan partai politik, ideologi sering disebut-sebut. Akan tetapi apakah ideologi dalam partai politik hanya berarti asas atau ajaran ?

Memang secara sederhana ideologi dapat diartikan sebagai seperangkat ide atau gagasan yang dianut oleh seseorang. Seperangkat gagasan ini bukan hanya sekedar pengetahuan, tetapi ia juga mempengaruhi kesadaran seseorang tentang berbagai realitas diluar dirinya, seperti realitas ekonomi, politik bahkan hubungan-hubungan sosial. Jika ideologi mampu mempengaruhi pikiran dan kesadaran seseorang tentang berbagai realitas diluar dirinya, maka ideologi bisa bersifat negatif maupun positif. Sifat negatif jika ideologi mengandung seperangkat ide atau gagasan yang bertentangan dengan realitas atau menyembunyikan realitas tertentu untuk kepentingan tertentu. Sifat positif adalah kebalikannya, yaitu jika ideologi mengandung seperangkat ide atau gagasan yang membantu seseorang untuk memahami realitas.

Ideologi yang bersifat negatif, misalnya, dalam Hubungan Industrial Pancasila (HIP) model Orde Baru yang menyebutkan bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha adalah “partner” atau rekan kerja. Hubungan rekan kerja (partnership) ini seolah-olah semua pihak dapat untung yang hampir sama. Kendati sesungguhnya persepsi atau pemahaman yang benar seharusnya memang demikian (asas egaliter demokratis). Namun namun pada kenyataanya hal ini justru menjadi sarang persembunyian realitas eksploitasi buruh yang banyak dilakukan oleh pengusaha. Kenyataanya selama 32 tahun Orde Baru banyak pengusaha yang menjadi konglomerat sedangkan buruh sampai saat ini hidupnya tetap miskin. Dengan demikian gagasan partnership dalam HIP dapat disebut sebagai ideologi yang negatif. (bersambung)

* Penulis adalah :

  • Ketua Umum Gerakan Spirit Pancasila
  • Ketua DPP PDI Perjuangan
  • Anggota DPR-RI
  • Ketua Umum Yayasan Bung Karno (YBK)
Sumber :
Selasa, 11 September 2007 OPINI (Indo Pos)