08 May 2008

Hipotesis Untuk Bung Karno

Membaca tulisan sahabat Tarib Malueka (TM) berjudul Upaya Mendiskreditkan Bung Karno Tidak Akan Berhasil (Simponi edisi 30 Juni 19993). Pada prinsipnya saya sepakat. Tulisan itu antara lain mengulas tulisan saya sebelumnya yang berjudul Pilar-Pilar Api Islam (Simponi edisi 16 Juni 1993), yang memang merupakan sebuah catatan buatannya (atas tulisannya yang berjudul Relevansi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Bung Karno (Simponi edisi April 19993). Bahwa pendapat kita saling melengkapi, namum begitu saya tetap melihat diantara kita ternyata ada perbedaan Penekanan. Pada tulisan sahabat TM tentang Relevansi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Bung Karno, sahabat TM menempatkan alur pemikiran kedua tokoh sebagai obyek penulisannya. Oleh karena itu catatan yang saya berikan berkisar pada alur pemikiran pula dengan mengedepankan satu pertanyaan: mengapa Bung Karno tidak ditempatkan sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia? Sesungguhnya pertanyaan saya itu mengandung satu hipotesis bahwa Bung Karno adalah salah seorang pembaru Islam. Untuk menguci hipotesis saya itu, formil saya mengajak sahabat TM untuk meneliti dan mempelajari kembali pemikiran Bung Karno. Akan tetapi hakekatnya saya mengajak semua pihak, sehingga muncul pemikiran yang obyektif terhadap gagasan pemikiran Bung Karno termasuk didalamnya pembaruan Pemikiran Islamnya. Sayangnya pada tulisan berikutnya (Upaya Mendiskreditkan Bung Karno tidak akan Berhasil), sahabat TM justru cenderung memakai logika politik, dengan menunjukan berbagai usaha yang mendiskreditkan Bung Karno. Tentang hal itu saya juga bisa menambah bahwa akar dari segala usaha pendiskreditkan Bung Karno adalah: tap MPRS no. 32/1967, yang sesungguhnya merupakan biangkerok dari upaya Desoekarnosasi.

Terhadap upaya pendiskreditan Bung Karno, sedikitpun saya tidak merasa heran dan khawatir. Tapi ada satu hal yang penting, setelah 23 tahun kita ditinggalkan Bung Karno dan setelah lebih 25 tahun Orde Baru berperan, agaknya sebagai bangsa kita hanya memiliki satu wilayah, tampa elan dan cita-cita. Tampa mengecilkan peran dan pengaruh para pejuang dan pemikir lainnya, akhirnya kembali kepada Bung Karno-lah kita menemukan elan dan cita-cita, sebuah visioner, hari depan. Hal ini nampak jelas kenapa pada bangsa ini, khususnya generasi mudanya merindukan figur semacam Bung Karno. Kecenderungan ini akan berakibat fatal, jika yang mencul kemudian hanya slogan politis dan sikap nostalgia yang diturunkan generasi tua kepada generasi muda. Akibatnya yang muncul adalah kultus individu tampa makna pemahaman terhadap pemikiran Bung Karno. Menghindari kecenderungan yang kurang baik seperti diatas, sudah saatnya kita menempatkan Bung Karno tidak hanya dalam bahasa-bahasa pemikiran. Untuk itu pendekatan ilmiah (rasional: logis dan dialektis) sangat dibutuhkan demi pengertian yang obyektif terhadap Bung Karno.

Upaya pendekatan ilmiah tidak perlu dicurigai sebagai satu usaha untuk merevisi pemikiran Bung Karno. Disamping itu jangan pula melibatkan pendekatan ilmiah hanya berlaku untuk kalangan para Akademi saja. Pengerian usang ini harus segera kita tinggalkan demi kemajuan. Pendekatan ilmiah terhadap pemikiran Bung Karno akan menolong kita secara sistematis, sehingga muncul pengertian obyektif. Untuk itu kita bisa menggunakan berbagai metoda ilmiah, antara lain: 1. Deskriptip (pemaparan, menggunakan: sember-sumber primer dan skunder yang otentik dan representatif). 2. Analitik(menarik kesimpulan dan atau penilaian dengan jujur, menggunakan data dan fakta yang ada: bukan mengada-ada). 3. Exploratif (mengangkat sesuatu dengan berbagai pendekatan). Sebagaimana layaknya pendekatan ilmiah, maka dibutuhkan hipotesis (kesimpulan sementara) tertentu dan dengan mengedepankan berbagai pertanyaan dan pemasalahan yang dihadapi.

Terhadap perkembangan pemikiran Islam ditanah air, telah saya singgung diatas, sedangkan terhadap Fenomena dan Realita global dapatkah kita menempatkan satu hipotesis To Build The Word Anew-nya Bung Karno mampu membangun tata dunia baru yang lebih adil? Kemudian terhadap masalah nasional, seperti masalah kemiskinan, dapat pula kita mengedepankan satu hipotesis: Sosialisme ala Indonesia (dulu pernah dikenal dengan istilah Marhaenisme) sebagai metoda pendekatan pemerataan sanggupkah mengetas kemiskinan? Selanjutnya kita bisa mengedepankan hipotesis-hipotesis lainnya dengan berbagai pernyataan dan permasalahan yang dihadapi, kita mencoba menggumili alur pemikiran Bung Karno secara ilmiah (rasional: logis dan dialektis).

Dengan menepatkan pendekatan ilmiah, kembali pada tema pokok pemikiran Islam Bung Karno, maka pertanyaan sahabat TM seperti: karya-karya pemikiran Bung Karno tidak terlalu banyak sehingga tidak perlu heran jika Bung Karno tidak ditempatkan sebagai pembaru Islam di Indonesia, adalah kurang tepat. Pertama, masih banyak tulusan-tulisan Bung Karno yang belum terhimpun, khususnya perioderasi 1920-1926 dimana waktu itu Bung Karno banyak menulis di Suratkabar Oetoesan Hindia, sebuah surat kabar yang dikelola oleh Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto, Kedua, DR. Ridwan Lubis dalam desertasinya tentang pemikiran Islam Bung Karno dan unsur-unsur Pembaharuan, untuk program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan bahwa, setiap kali Bung Karno berbicara tentang politik terkandung pula didalamnya pemikiran Islamnya. Dan sebaliknya setiap kali Bung Karno berbicara tentang Islam terkandung pula pemikiran politiknya. Saling keterkaitan tersebut, menurut DR. Ridwan Lubis telah mematangkan pergulatan pemikirannya seperti tampak pada filsafat Pancasila yang dikemukakan tampa teks dalam pidato 1 Juni 1945 dihadapan sidang BPUPKI.

Memang untuk semetara waktu metode pendekatan ilmiah masih sangat tabu bagi kalangan masyarakat umumnya. Namum bagi kalangan masyarakat terdidik pendekatan ilmiah adalah sesuatu yang harus diupayakan setiap saat dalam menelaah berbagai persoalan. Oleh karena itu terhadap pemikiran Bung Karno baru kalangan Pengurus Tinggi saja yang dengan seksama, melalui berbagai penulisan skripsi sehingga disertai menggunakan metode ilmiah. Sudah saatnya kita melangkah ke depan dengan menggunakan metode ilmiah populer untuk mempelajari pemikiran Bung Karno, sehingga hasil studi kita bisa kita permasalahkan di pelbagai media massa. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan akan terjadi dialog dan satu polemik diantara kita. Hal itu sangat baik demi pemahaman dan pengertian yang obyektif terhadap pemikiran Bung Karno.

Sesungguhnya disamping penghayatannya yang tuntas akan nasib rakyat dan bangsanya yang terjajah, pergulatan pemikirannya yang panjang dan tak jarang terlibat polemik yang tajam, maka Bung Karno juga berhasil melahirkan gagasan-gagasan pemikiran yang mendasar, orisinil dan berkuavisioner. Bukan mustahil dengan polemik pula justru kita akan melihat lebih jelas relevansi pemikiran Bung Karno. Sayangnya polemik-polemik seputar Bung Karno belakangan ini cenderung berlangsung pada dataran suka atau tidak suka, bukan pada dataran pengkajian pemikirannya dan sejauh mana relevansinya bagi kehidupan kekinian. Somoga tanggapan saya ini menjadi bahan renungan sahabat TM dan generasi muda lainnya yang mempunyai hak yang sama.

Catatan Redaksi dengan tulisan ini yang macam “Polemik” yang terjadi antara Tarib Lueka dan Gazhali Wadji dianggap berakhir

Oleh: Gazhali Wajdi

HMI Tidak Bermaksud Mendongkel Bung Karno

DR. SULASTOMO, saat itu Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Menilai “Bung Karno merupakan seorang pemimpin besar yang revolusioner. Sebagai seorang yang revolusioner, dia sangat mengandrungi kehidupan yang dinamik, yang serba bergelombang ibarat gelombang samudra yang besar.

Oleh karena itu menurut Sulastomo. “HMI harus ikutan jalannya revolusi dan tidak boleh ketinggalan. “Apalagi di tahun 65-an HMI sedang gencar-gencarnya diteror sebagai organisasi yang kontra revolusioner. Teror tersebut terutama datangnya dari pihak PKI dan para pendukunnya. Untuk itu, maka Sulastomo meyimpulkan, “HMI harus mengambil kesan revolusioner, jika HMI tidak mau dibubarkan”.

“Keseluruhan sikap dan langkah HMI, tampaknya memang telah berhasil menyakinkan Bung Karno. Sudah tentu (upaya itu) tidak oleh HMI sendiri, tetapi juga oleh para pendukung dan sipatisan HMI, baik oleh para pemimpin umat, serta pemimpin negara lain. Hal ini dapat terlihat, betapa Bung Karno dan Pak Leimena dengan tegar menolak tuntutan perubahan HMI oleh Aidit dan CGMI di forum terbuka di Istora Senayan tanggal 29 September 1965...”. Padahal beberapa menit sebelummnya, Aidit dengan sombong berkata “Lebih baik pakai sarung jika tidak membubarkan HMI”. Bung Karno ternyata tidak bisa digertak dalam forum terbuka seperti itu, apalagi hal itu datangnya dari seorang semacam Aidit. Bung Karno bahkan dengan lantang berkata, CGMI pun, apabila ternyata konta revolusi, juga akan dibubarkan. “Now, it can be told”. Sekarang, dapat diceritakan, kata Sulastomo. Dan penilaian tersebut kini tertuang dalam buku hari-hari yang panjang 1963-1966. Buku berwarna merah darah setebal 150 halaman itu menceritakan pengalaman pribadinya selama menjadi ketua umum PB HMI periode 1963-1966. Pada hematnya peristiwa panjang di tahun 1963-1966 yang penuh tanda tanya bagi generasi sekarang, sudah tiba waktunya untuk dijelaskan seperti yang tertulis dalam buku ini. Adapun unsur subjektifitas yang tidak dapat dihindari dalam penulisannya, seperti diakui sendiri oleh Sulastomo, adalah wajar. Dan yang jelas “Para pembaca dihadapkan pada berbagai alternatif yang dapat dipilihnya sendiri”. Kata Sulastomo dalam kata pengantar bukunya ini.

Secara terbuka Sulastomo menceritakan betapa hubungan baik antara HMI dan ABRI, sehingga tidak mengherankan, karena keakrabannya ini PB HMI bisa langsung bertemu Pak Harto pada saat dualisme kepemimpinan nasional berlangsung. Bahkan pernah mendesak agar Pak Harto selaku pengembang Supersemar dapat memimpin kabinet Ampera.

Hasilnya”....esok harinya (tanggal 15 Juli 1966) saya terkejut bahwa pemikiran PB HMI telah menjadi berita utama harian Berita Yudha. Yang dikenal sebagai dekat dengan Angkatan Darat. Surat akbar menulis: HMI Berdiri Dibelakang Pak Harto”...Sulastomo juga mengaku sangat dekat dengan Subchan Z.E. tokoh NU, bahkan bersedia masuk NU jika HMI dibubarkan. Menurut penuturannya. “Meskipun Mas Subchan adalah seorang tokoh NU tetapi beliau bisa lebih dekat dengan HMI dibanding mungkin dengan PMII atau G.P Ansor. Tidak mustahil hubungan demikian baik dengan HMI ini dapat menumbuhkan rasa iri hati di kalangan generasi muda NU. Selain itu Sulastomo juga menceritakan hubungan baiknya dengan Sudjono Humardani. “Saya pribadi sudah menganggap beliau sebagai orang tua saya”. Kalau sudah bertemu beliau , Pak Djono tidak saja ingin berdiskusi masalah-masalah politik/kenegaraan, tetapi juga ajaran-ajaran Jawa....Terus terang ajaran Jawanya sendiri saya tidak asing lagi, tetapi cara beliau mendalami ajaran itu banyak yang saya rasakan sebagai baru”.

Bagi Sulastomo yang terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI priode 1963-1966, itu adalah masa yang paling gawat dalam kehidupan ormas tersebut. Di pundaknya terpikul tanggungjawab hidup matinya HMI. Dan terbukti Sulastomo memang pantas untuk memimpin organisasi semacam HMI pada masa lalu, khususnya dalam menghadapi teror dari PKI dan para pendukungnya, begitu juga sebaliknya, tatkala Jakarta sudah semakin panas dengan aksi-aksi demontrasi untuk menganyang PKI. Dan ketika ada pemikiran untuk mengarahkan sasaran demontrasi kepada Bung Karno, Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI secara tegas menolak pemikiran semacam itu.

Menurut Sulastomo ada lima faktor yang meyebabkan HMI tidak bisa menerima ajakan atau pemikiran untuk mengarahkan demontrasi kepada Bung Karno. Pertama, menjaga jangan sampai terjadi konflik nasional. Kedua, boleh dibilang inkonstitusional. Ketiga, mempertimbangkan posisi ABRI. Keempat, secara moril, Bung Karno seorang pemimpin besar yang telah banyak jasanya bagi bangsa dan negara. Kelima, menjaga keselamatan HMI itu sendiri, mengingat KAMI ternyata dibubarkan oleh Bung Karno. Kebijaksanaan yang diambil dengan sikap hati-hati ini, bukan sekedar pertanggung jawabannya sebagai Ketua Umum PB HMI, tetapi juga kepentingan nasional.

Banyak temannya yang berhaluan keras menentang kebijaksanaan Sulastomo, namun sedikit pun ia tak bergeming dari pendiriannya. Sama seperti Bung Karno yang tak sehelai rambutpun bergeser dari prinsifnya untuk tidak membubarkan HMI, dari tuntutan Aidit. Dalam pada itu Sulastomo meminta kepada teman-temanya agar bisa menjalankan kebijaksanaan yang telah digariskan. “Sebagai seorang Ketua saya mempunyai semacam hak prerogatif”, tandasnya dengan nada pasti. Atas dasar lima faktor tersebut Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI menyatakan: “HMI tidak bermaksud mendongkel Bung Karno” Memang dalam aksi demontrasi yang cukup panas di tahun 65-an, banyak organisasi yang mengarahkan aksi demontrasinya kepada Bung Karno. Dan Sulastomo sebagai seorang Ketua Umum PB HMI setidaknya telah berupaya untuk melarang teman-temanya berbuat semacam itu.

Sulastomo yang mengaku pernah menari lenso dengan Bu Hartini di Istana Bogor, ternyata dalam bukunya setebal 150 halaman ini masih menanyakan dan penasaran: Mengapa Bung Karno tidak mau membubarkan HMI? Sedangkan Masyumi, BPS, Manikebu, KAMI, dllnya dapat dibubarkan oleh Bung Karno. Sayangnya, Bung Karno yang bisa menjawab semua ini sudah meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pesan atau tulisan kepada HMI.

Sebuah teka-teki memang masih belum terjawab. “kata Sulastomo”. Tetapi, faktanya benar, bahwa meskipun didesak oleh Aidit di dalam Forum yang terbuka, Bung Karno bersikap tidak membubarkan HMI. “Hubungan HMI dan Bung Karno” seperti yang diungkapan oleh Sulastomo dalam bukunya ini, sangat menarik untuk kita pelajari dan setidaknya kita dapat melihat bahwa ada orang-orang diluar pendukung formal seperti PNI, yang dekat dengan Bung Karno.

Menulis kejadian disekitar tahun 1963-1966, menurut Sulastomo. “ tidaklah mudah, sebab banyak masalah politik yang terkait. Dan menjelaskan masalah politik, selamanya tidak akan mudah, meskipun itu hanya menyangkut sebuah organisasi mahasiswa, yaitu “HMI”. Kendati begitu, pada pronsifnya, minimal para pembaca telah mendapat satu wawasan, yaitu wawasan ke-HMI-an.

Judul buku : HARI HARI YANG PANJANG 1963-1966 Tebal : 150 halaman Penulis : Sulastomo Penerbit : CV HAJI MASAGUNG, Jakarta Agustus 1989

Bung Karno dan Ahmadiyah*

Perkara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tengah menyita perhatian publik yang demikian luas. Seakan problem kebangsan kita tertumpu pada persoalan tersebut. Pengangguran, kemiskinan, empidemi, rusaknya ekosistem, korupsi dan manipulasi, penyalahgunaan wewenang kekuasaan –seakan menjadi nonfaktor untuk (sementara ini). Pertanyaannya, apakah dengan membumi hanguskan JAI problem sosial-politik yang melilit bangsa ini, akan teratasi?

Seyogyanya persoalan JAI kita tinjau secara jernih. Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terhadap JAI sebagai organisasi sesat. Namun, mengingat fatwa MUI tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap seluruh kaum muslimin, melainkan sekadar pendapat hukum. Maka semestinya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kemasyarakatan (Bakor-Pakem) tidak tergesa-gesa merujuk fatwa MUI tersebut untuk melarang JAI. Artinya diperlukan kajian yang mendalam dan komprehensif terhadap JAI, apalagi organisasi ini berskala internasional.

Niscaya Bakor-Pakem sebagai suatu institusi keberadaannya sudah cukup lama. Sejak zaman Bung Karno institusi ini sudah ada dengan nama Pakem. Tujuan dibentuknya institusi ini selain untuk memantau pelbagai aliran kemasayarakatan yang berkembang (baik yang berbasis tradisi dan agama), agar tetap berada di jalur hukum dan ketentuan yang ada, ia juga digunakan untuk menangkal unsur-unsur dan anasir-anasir subversi yang kemungkinan menyelinap di tubuh organisasi-organisasi seantero aliran kemasyarakatan, yang ada pada waktu itu.

Tak pelak sebagai suatu institusi ditinjau dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pakem memang dibutuhkan. Tapi bukan berarti dalam menjalankan fungsinya; mengabaikan jalan musyawarah, sehingga setiap kebijakan yang ditempuh didasari pada kepentingan nasional dan kemaslahatan bersama. Kasus “pelarangan” terhadap JAI yang akan disepakati Bakor-Pakem, kemudian penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung ditunda, lantaran Menteri Agama sedang di luar negeri, sejatinya menunjukan jalur musyawarah belum ditempuh secara maksimal dan komprehensif.

Mengisi ruang-jeda ini ada baiknya diketengahkan suatu kronik sejarah yang menunjukan sejak zaman kolonial, keberadaan JAI tidak bisa diabaikan. Bahkan setingkat Bung Karno pun sebagai tokoh pergerakan politik berpengaruh, selagi menjalani masa pembuangan di Endeh, pernah bersingungan dengan JAI.

Suatu saat majalah Pemandangan memberitakan bahwa Bung Karno menjadi anggota JAI dan mendirikan cabang organisasi tersebut serta menjadi propagandisnya (juru da’wah). Informasi ini langsung ditolak oleh Bung Karno. Pertanyannya, mengapa Pemandangan mengambil kesimpulan seperti itu? Bisa jadi lantaran cara pandang Bung Karno menurut Pemandangan sejalan dengan JAI. Tentang hal itu, Bung Karno membantah: tidak benar.

Dalam artikelnya Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi, tertanggal 25 Nopember 1936 Bung Karno antara lain menulis:

Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi “buat bagian Celebes”! Sedang pelesir kesebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endah, saya tidak boleh! Di Endah memang saya lebih memperhatikan urusan agama dari pada dulu. Disampingya saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punja ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama persoonnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu. Kepada tuan Hassan dan Persatuan Islam saya di sini mengucapkan saya punya terimakasih, beribu-ribu terimakasih.

Dan mengenai Ahmadiyah, walaupun bebera pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya “features” yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk makingvan den Islam.

Maka oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya “pengeramatan” kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterimakasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.

Demikian pandangan Bung Karno terhadap JAI, ada yang ditentang dan ditolaknya, tapi ada pula yang disetujuinya. Hal ini menunjukan sikap toleransi dan daya intelektualitasnya dalam memahami dan menempatkan suatu persoalan, terhadap yang rumit dan sensitif sekali pun. Sehingga tidak keluar pernyataan yang menghakimi. Untuk itu di masa kepemimpinannya, ia mendirikan Pakem. “Bahkan khusus untuk organisasi yang berskala internasional, Bung Karno menandaskan agar memeperhatikan hukum internasional dan hubungan diplomatik”, demikian Utomo Darmadi seorang Perwira Menengah Angkatan Darat (kala itu ditempatkan untuk ikut dalam Pakem), memberikan kesaksiannya.

Adakah sikap Bung Karno yang demikian keliru, bahkan sesuatu yang sesat? Untuk menjawab pertanyan ini riwayat perjalanan Nabi Besar Muhamaad s.a.w. menjadi sangat relevan untuk kita renungi, sebagaimana yang ditulis Syed Ameer Ali dalam buku: The Spirit Of Islam (A History of the Evolution and Ideals of Islam) yang diterjemahkan H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta dan Pembangunan Jakarta, dengan judul: Api Islam, berikut nukilannya:

Muhammad s.a.w. tidak sekedar mengajarkan toleransi; toleransi-toleransi itu dijalinnya dalam undang-undang. Kepada semua bangsa yang takluk diberinya kemerdekaan beribadah. Mereka hanya diwajibkan membayar sekedar upeti sebagai kompensasi untuk menjalankan agamanya. Apabila pajak atau upeti telah di setujui, maka tiap campur tangan orang Islam dalam agama mereka atau kebebasan hati nuraninya, dianggap sebagai pelanggaran langsung terhadap undang-undang Islam. PengIslaman dengan pedang sama sekali bertentangan dengan naluri Muhammad s.a.w. dan bertengkar dengan agama sama sekali ia tak suka. Berulang-ulang dia berseru: “Mengapa bertengkar tentang hal yang tidak kamu tahu? Berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan; apabila kamu telah kembali kepada Tuhan, Ia akan mengatakan kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”

Dengan mengambil teladan dari Nabi Besar Muhammad s.a.w. masih ada waktu bagi Bakor-Pakem dan organisasi-organisasi Islam untuk bermuyawarah lebih intensif dan komprehensif, menyoal perkara JAI, dengan berpegang pada uhkuah Islamiah, uhkuah Watoniah dan uhkuah Basyiriah. Dengan demikian perbedaan di antara umat Nabi Besar Muhammad s.a.w. benar-benar merupakan rachmat, apalagi dasar negara Pancasila memberikan ruang untuk bermusyawarah dalam setiap penyelesaian problem kebangsaan di tanah air. Maka segala perbedaan yang ada dapat didiskusikan untuk saling asah, asih dan asuh. Bagi JAI perkara ini hendaknya menjadi pelajaran, bahwa sikap eksklusif yang selama ini cenderung terlihat, kiranya bisa dibuka sedikit-demi sedikit, sehingga bisa tertransformasi menjadi inklusif.

***

* Ditulis untuk Harian Suara Karya, Jakarta 24 April 2008.

Oleh: Giat Wahyudi (Kadia Budaya Badan Pengurus Pusat Gerakan Spirit Pancasila)

Bung Karno Dalam Pembaharuan Islam

BUNG KARNO masih terus dikaji orang. Sebagian besar mempelajari Bung Karno secara oral, lewat pidato-pidatonya yang mnggelegar namum penuh nilai. Sedangkan sebagian lainnya mengkaji pikiran Bung Karno dalam bentuk tulisan.

Salah seorang yang mengkaji Bung Karno dalam bentuk tulisan, adalah Dr. Muhammad Ridwan Lubis, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melalui disertasinya yang kini dibukukan, berjudul Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan Unsur-unsur Pembaharuannya (CV Haji Mas Agung, 283 halaman)

Menjelaskan perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. Ridwan Lubis mengemukakan adanya dua kecenderungan, yang dikembangkan oleh kelompok pesantren, yang oleh banyak kalangan digolongkan kedalam kelompok tradisional, dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai pembaru Islam. Ia menjelaskan, meskipun Bung Karno membentuk rumusan-rumusan mewakili pemikirannya, sejak Mahaenisme, Nasionalis, Pancasila, hingga Marxisme dan Islamisme, pandangannya tentang Islam tetap terlihat jelas. Ditekankan, ada dua hal tentang pemikiran Islam Bung Karno, termaktub dalam: pandangannya tentang Ketuhanan, peranan Sains dalam memahami Al Qur’an dan Hadis, Islam dan perubahan Sosial, Takbir, pandangan Islam tentang Kemanusian, masalah Riba dan Bank, serta masalah hubungan Agama dan Negara.

Ridwan juga menguraikan secara Sistematis dan Analitik, polimik Bung Karno dengan Siradjuddin Abbas, Kiai Machfoedz Siddig, A. Moehlis (nama samaran: M. Natsir), Tengkoe Mhd, Hasbi, M.S. (nama samaran : A. Hasan) Adil, Agus Salim, Faisal Haq dan lain-lain. Mereka kecuali Faisal Haq-umumnya menolak pemikiran Bung Karno. Dari uraian ini terlihat jelas, betapa pemikiran Islam Bung Karno sangat kontroversial pada masanya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, secara perlahan umat Islam Indonesia menyadari benarnya konsep itu merupakan kerangka pemikiran yang paling memungkinkan dilaksanakan di Indonesia, guna menampung berbagai aspirasi masyarakat.

**********

SEBAGAI seorang yang harus kritis. Dr. Muhammad Ridwan Lubis menyarankan kita untuk bersikap adil dalam memandang pemikiran Islam Bung Karno. Dahm kurang objektif menilai pandangan keagamaan Bung Karno. Dahm berpendapat, “Sulit menangkap rasa keagamaan Soekarno yang fundamental karena sikap netral agamanya, sekurang-kurannya sebelum pengasingannya ke Ende. Sekalipun ia tidak secara total meniadakan Tuhan seperti Komunis, namun dengan menjadikan partainya terbuka untuk semua aliran, sulit untuk melihat agama yang menjadi peganggannya”(hlm:72). Pernyataan Dahm ini menurut Ridwan Lubis terlalu berlebih-lebihan, karena mendasarkan keislaman itu hanya pada sikap politik saja. Soekarno sendiri menyatakan kenyakinannya semakin bertambah kepada Islam dan merasakan sungguh-sungguh sebagai penganut Islam. Disamping itu ia giat berusaha memahami Al Qur’an dan Hadis dan merasa telah memahami Tuhan. Dalam tulisannya setelah keluar dari penjara Sukamiskin, tergambar adanya perasaan yang menggumuli dirinya. Pertama, keyakinannya semakin teguh terhadap kebenaran Islam. Kedua, rasa irinya yang mendalam melihat kegiatan misi Kristen melakukan bimbingan kepada narapidana sebelum mengajak mereka masuk Kristen, sementara dakwah Islam kurang ditata dengan baik sehingga kurang dirasakan artinya oleh penghuni penjara. Menurut Soekarno, Muhammadiyah telah menggarap kegiatan dakwah di penjara, namun tetap saja tidak bisa mengimbangi misi Kristen itu. (hlm: 73).

Nampaknya penjara Sukamiskin bagaikan “pesantren” bagi Bung Karno untuk mendalami dan menghayati ajaran Islam. Studi ini kemudian dilanjutkan di Ende, dalam kapasitas yang sama sebagai tahanan politik rezim kolonial Belanda. Pada masa ini Bung Karno menjalin hubungan dengan A. Hasan yang banyak mengirimi buku-buku keagamaan seperti Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-ukhtar, Debat Talqin, Al-Burhan, Al-Jawahir, Soal-Jawab. Jika kita perhatikan buku-buku yang dikirim oleh A. Hasan kepada Bung Karno nampak bahwa hubungan Bung Karno dengan A. Hasan lebih menyangkut masalah peribatan. Sedangkan yang berhubungan dengan masalah muamalah koteksnya dengan ajaran dan gagasan Islam sudah digumulinnya sejak mondok dirumah Cokroaminito. Itulah sebabnya ketika ia mendapat kiriman “brosur A.D. Hanie tentang cara pemerintahan Islam, yang menyebut sistem Parlementaire Demokratie identik dengan cita-cita Islam, Soekarno mengeritiknya, karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman (hlm. 74-75).

Kritik dan pandangan Bung Karno membawa pada “kegiatan pemikirannya yang lain berkaitan dengan masalah politik, yaitu merenungkan akar-pemikiran Bangsa Indonesia. Soekarno mempunyai kebiasaan duduk berjam-jam dibawah pohon Sukun dipinggir pantai., menyaksikan hampaan gelombang samudra yang datang sambung-menyambung. Pasang naik dan pasang surut gelombang itu dianalogikanya dengan geloranya revolusi yang melambangkan dinamika dan tidak mengenai batas, namun semuanya termasuk dirinya adalah ciptaan dan tunduk dibawah aturan Yang Mahaada “(hlm. 74).

Dari renungan itulah. Bung Karno punya kemampuan luar biasa dalam menjawab pertanyaan Ketua Sidang BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat yang menanyakan tentang dasar yang hendak dipakai dalam Indonesia merdeka. Bung Karno menjawabnya dengan Pancasila. “Rumusan Pancasila adalah karya puncak Soekarno dalam perantauan intelektualnya. Ide itu mulai direnungkannya sejak masa persiapanya menjadi pemimpin di Surabaya, dan dimatangkannya sewaktu di Ende. Pancasila dan pengkajian tentang Islam adalah dua kegiatan yang dilakukan secara serentak di Ende. Oleh karena itu hasil pemikiran tentang dua hal ini saling mempengaruhi. Pandangan keislamnya juga sudah termasuk dalam Pancasila, demikian pula pandangan tentang politik telah masuk dalam pemahaman keislaman” (hlm. 105).

**********

MESKIPUN Ridwan mengritik pendapat Dahm tentang sikap keagamaan Bung Karno, namun secara jujur dan objektif ia juga mengakui kebenaran dari hasil studi Dahm. “bahwa kerangka pemikiran Soekarno tentang Islam terdiri dari tiga hal, dan disinilah dapat dikembalikan semua rumusan pemikiran Soekarno. Ketiga hal itu adalah: “(1) tidak ada agama selain Islam yang lebih menekankan persamaan, (2) tidak ada agama selain Islam yang lebih sederhana dan rasional, (3) Islam adalah kemajuan”. (hlm.135). Ketika kerangaka itu dianalisis, sehingga seluk beluk dan pertautan pemikiran Islam Bung Karno, dengan kondisi objektif-subjektif, baik bagi umat Islam umumnya maupun yang di Indonesia, menemukan jelujur-jelujur benang merahnya. Pemikiran Islam Bung Karno tidak sedikit membawa unsur-unsur pembaruan.

Soekarno dapat dimasukkan ke dalam kelompok pembaruan Islam di Indonesia, yang berusaha menunjukan, bahwa penyebab kemunduran umat Islam pada abad-abad terakhir ini karena mereka telah menyimpang dari hakekat ajaran yang mereka anut...(hlm. 146). Jika Abduh berpendapat bahwa peradapan sejati sesuai dengan Islam, sementara Farid Wadji berpendapat Islam yang sejati sesuai degan peradapan. “Dalam hal ini tampaknya Soekarno lebih cenderung kepada orientasi pemikiran Farid Wadji”. (hlm. 143). Bung Karno memang sependapat dengan Farid Wadji tentang kemerdekaan roh, akal dan pengetahuan.