Perkara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tengah menyita perhatian publik yang demikian luas. Seakan problem kebangsan kita tertumpu pada persoalan tersebut. Pengangguran, kemiskinan, empidemi, rusaknya ekosistem, korupsi dan manipulasi, penyalahgunaan wewenang kekuasaan –seakan menjadi nonfaktor untuk (sementara ini). Pertanyaannya, apakah dengan membumi hanguskan JAI problem sosial-politik yang melilit bangsa ini, akan teratasi?
Seyogyanya persoalan JAI kita tinjau secara jernih. Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa terhadap JAI sebagai organisasi sesat. Namun, mengingat fatwa MUI tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap seluruh kaum muslimin, melainkan sekadar pendapat hukum. Maka semestinya Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kemasyarakatan (Bakor-Pakem) tidak tergesa-gesa merujuk fatwa MUI tersebut untuk melarang JAI. Artinya diperlukan kajian yang mendalam dan komprehensif terhadap JAI, apalagi organisasi ini berskala internasional.
Niscaya Bakor-Pakem sebagai suatu institusi keberadaannya sudah cukup lama. Sejak zaman Bung Karno institusi ini sudah ada dengan nama Pakem. Tujuan dibentuknya institusi ini selain untuk memantau pelbagai aliran kemasayarakatan yang berkembang (baik yang berbasis tradisi dan agama), agar tetap berada di jalur hukum dan ketentuan yang ada, ia juga digunakan untuk menangkal unsur-unsur dan anasir-anasir subversi yang kemungkinan menyelinap di tubuh organisasi-organisasi seantero aliran kemasyarakatan, yang ada pada waktu itu.
Tak pelak sebagai suatu institusi ditinjau dari eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pakem memang dibutuhkan. Tapi bukan berarti dalam menjalankan fungsinya; mengabaikan jalan musyawarah, sehingga setiap kebijakan yang ditempuh didasari pada kepentingan nasional dan kemaslahatan bersama. Kasus “pelarangan” terhadap JAI yang akan disepakati Bakor-Pakem, kemudian penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung ditunda, lantaran Menteri Agama sedang di luar negeri, sejatinya menunjukan jalur musyawarah belum ditempuh secara maksimal dan komprehensif.
Mengisi ruang-jeda ini ada baiknya diketengahkan suatu kronik sejarah yang menunjukan sejak zaman kolonial, keberadaan JAI tidak bisa diabaikan. Bahkan setingkat Bung Karno pun sebagai tokoh pergerakan politik berpengaruh, selagi menjalani masa pembuangan di Endeh, pernah bersingungan dengan JAI.
Suatu saat majalah Pemandangan memberitakan bahwa Bung Karno menjadi anggota JAI dan mendirikan cabang organisasi tersebut serta menjadi propagandisnya (juru da’wah). Informasi ini langsung ditolak oleh Bung Karno. Pertanyannya, mengapa Pemandangan mengambil kesimpulan seperti itu? Bisa jadi lantaran cara pandang Bung Karno menurut Pemandangan sejalan dengan JAI. Tentang hal itu, Bung Karno membantah: tidak benar.
Dalam artikelnya Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi, tertanggal 25 Nopember 1936 Bung Karno antara lain menulis:
Saya bukan anggota Ahmadiah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Apalagi “buat bagian Celebes”! Sedang pelesir kesebuah pulau yang jauhnya hanya beberapa mil saja dari Endah, saya tidak boleh! Di Endah memang saya lebih memperhatikan urusan agama dari pada dulu. Disampingya saya punja studi sociale wetenschappen, rajin jugalah saya membaca buku-buku agama. Tapi saya punja ke-Islam-an tidaklah terikat oleh sesuatu golongan. Dari Persatuan Islam Bandung saya banyak mendapat penerangan; terutama persoonnya tuan A. Hassan sangat membantu penerangan bagi saya itu. Kepada tuan Hassan dan Persatuan Islam saya di sini mengucapkan saya punya terimakasih, beribu-ribu terimakasih.
Dan mengenai Ahmadiyah, walaupun bebera pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada mereka punya “features” yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan (broadmindedness), mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk makingvan den Islam.
Maka oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya “pengeramatan” kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterimakasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, broadminded dan logis itu.
Demikian pandangan Bung Karno terhadap JAI, ada yang ditentang dan ditolaknya, tapi ada pula yang disetujuinya. Hal ini menunjukan sikap toleransi dan daya intelektualitasnya dalam memahami dan menempatkan suatu persoalan, terhadap yang rumit dan sensitif sekali pun. Sehingga tidak keluar pernyataan yang menghakimi. Untuk itu di masa kepemimpinannya, ia mendirikan Pakem. “Bahkan khusus untuk organisasi yang berskala internasional, Bung Karno menandaskan agar memeperhatikan hukum internasional dan hubungan diplomatik”, demikian Utomo Darmadi seorang Perwira Menengah Angkatan Darat (kala itu ditempatkan untuk ikut dalam Pakem), memberikan kesaksiannya.
Adakah sikap Bung Karno yang demikian keliru, bahkan sesuatu yang sesat? Untuk menjawab pertanyan ini riwayat perjalanan Nabi Besar Muhamaad s.a.w. menjadi sangat relevan untuk kita renungi, sebagaimana yang ditulis Syed Ameer Ali dalam buku: The Spirit Of Islam (A History of the Evolution and Ideals of Islam) yang diterjemahkan H.B. Jassin dan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang Jakarta dan Pembangunan Jakarta, dengan judul: Api Islam, berikut nukilannya:
Muhammad s.a.w. tidak sekedar mengajarkan toleransi; toleransi-toleransi itu dijalinnya dalam undang-undang. Kepada semua bangsa yang takluk diberinya kemerdekaan beribadah. Mereka hanya diwajibkan membayar sekedar upeti sebagai kompensasi untuk menjalankan agamanya. Apabila pajak atau upeti telah di setujui, maka tiap campur tangan orang Islam dalam agama mereka atau kebebasan hati nuraninya, dianggap sebagai pelanggaran langsung terhadap undang-undang Islam. PengIslaman dengan pedang sama sekali bertentangan dengan naluri Muhammad s.a.w. dan bertengkar dengan agama sama sekali ia tak suka. Berulang-ulang dia berseru: “Mengapa bertengkar tentang hal yang tidak kamu tahu? Berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan; apabila kamu telah kembali kepada Tuhan, Ia akan mengatakan kepadamu apa yang kamu perselisihkan.”
Dengan mengambil teladan dari Nabi Besar Muhammad s.a.w. masih ada waktu bagi Bakor-Pakem dan organisasi-organisasi Islam untuk bermuyawarah lebih intensif dan komprehensif, menyoal perkara JAI, dengan berpegang pada uhkuah Islamiah, uhkuah Watoniah dan uhkuah Basyiriah. Dengan demikian perbedaan di antara umat Nabi Besar Muhammad s.a.w. benar-benar merupakan rachmat, apalagi dasar negara Pancasila memberikan ruang untuk bermusyawarah dalam setiap penyelesaian problem kebangsaan di tanah air. Maka segala perbedaan yang ada dapat didiskusikan untuk saling asah, asih dan asuh. Bagi JAI perkara ini hendaknya menjadi pelajaran, bahwa sikap eksklusif yang selama ini cenderung terlihat, kiranya bisa dibuka sedikit-demi sedikit, sehingga bisa tertransformasi menjadi inklusif.
***
* Ditulis untuk Harian Suara Karya, Jakarta 24 April 2008.
Oleh: Giat Wahyudi
(Kadia Budaya Badan Pengurus Pusat Gerakan Spirit Pancasila)