08 May 2008

HMI Tidak Bermaksud Mendongkel Bung Karno

DR. SULASTOMO, saat itu Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. Menilai “Bung Karno merupakan seorang pemimpin besar yang revolusioner. Sebagai seorang yang revolusioner, dia sangat mengandrungi kehidupan yang dinamik, yang serba bergelombang ibarat gelombang samudra yang besar.

Oleh karena itu menurut Sulastomo. “HMI harus ikutan jalannya revolusi dan tidak boleh ketinggalan. “Apalagi di tahun 65-an HMI sedang gencar-gencarnya diteror sebagai organisasi yang kontra revolusioner. Teror tersebut terutama datangnya dari pihak PKI dan para pendukunnya. Untuk itu, maka Sulastomo meyimpulkan, “HMI harus mengambil kesan revolusioner, jika HMI tidak mau dibubarkan”.

“Keseluruhan sikap dan langkah HMI, tampaknya memang telah berhasil menyakinkan Bung Karno. Sudah tentu (upaya itu) tidak oleh HMI sendiri, tetapi juga oleh para pendukung dan sipatisan HMI, baik oleh para pemimpin umat, serta pemimpin negara lain. Hal ini dapat terlihat, betapa Bung Karno dan Pak Leimena dengan tegar menolak tuntutan perubahan HMI oleh Aidit dan CGMI di forum terbuka di Istora Senayan tanggal 29 September 1965...”. Padahal beberapa menit sebelummnya, Aidit dengan sombong berkata “Lebih baik pakai sarung jika tidak membubarkan HMI”. Bung Karno ternyata tidak bisa digertak dalam forum terbuka seperti itu, apalagi hal itu datangnya dari seorang semacam Aidit. Bung Karno bahkan dengan lantang berkata, CGMI pun, apabila ternyata konta revolusi, juga akan dibubarkan. “Now, it can be told”. Sekarang, dapat diceritakan, kata Sulastomo. Dan penilaian tersebut kini tertuang dalam buku hari-hari yang panjang 1963-1966. Buku berwarna merah darah setebal 150 halaman itu menceritakan pengalaman pribadinya selama menjadi ketua umum PB HMI periode 1963-1966. Pada hematnya peristiwa panjang di tahun 1963-1966 yang penuh tanda tanya bagi generasi sekarang, sudah tiba waktunya untuk dijelaskan seperti yang tertulis dalam buku ini. Adapun unsur subjektifitas yang tidak dapat dihindari dalam penulisannya, seperti diakui sendiri oleh Sulastomo, adalah wajar. Dan yang jelas “Para pembaca dihadapkan pada berbagai alternatif yang dapat dipilihnya sendiri”. Kata Sulastomo dalam kata pengantar bukunya ini.

Secara terbuka Sulastomo menceritakan betapa hubungan baik antara HMI dan ABRI, sehingga tidak mengherankan, karena keakrabannya ini PB HMI bisa langsung bertemu Pak Harto pada saat dualisme kepemimpinan nasional berlangsung. Bahkan pernah mendesak agar Pak Harto selaku pengembang Supersemar dapat memimpin kabinet Ampera.

Hasilnya”....esok harinya (tanggal 15 Juli 1966) saya terkejut bahwa pemikiran PB HMI telah menjadi berita utama harian Berita Yudha. Yang dikenal sebagai dekat dengan Angkatan Darat. Surat akbar menulis: HMI Berdiri Dibelakang Pak Harto”...Sulastomo juga mengaku sangat dekat dengan Subchan Z.E. tokoh NU, bahkan bersedia masuk NU jika HMI dibubarkan. Menurut penuturannya. “Meskipun Mas Subchan adalah seorang tokoh NU tetapi beliau bisa lebih dekat dengan HMI dibanding mungkin dengan PMII atau G.P Ansor. Tidak mustahil hubungan demikian baik dengan HMI ini dapat menumbuhkan rasa iri hati di kalangan generasi muda NU. Selain itu Sulastomo juga menceritakan hubungan baiknya dengan Sudjono Humardani. “Saya pribadi sudah menganggap beliau sebagai orang tua saya”. Kalau sudah bertemu beliau , Pak Djono tidak saja ingin berdiskusi masalah-masalah politik/kenegaraan, tetapi juga ajaran-ajaran Jawa....Terus terang ajaran Jawanya sendiri saya tidak asing lagi, tetapi cara beliau mendalami ajaran itu banyak yang saya rasakan sebagai baru”.

Bagi Sulastomo yang terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI priode 1963-1966, itu adalah masa yang paling gawat dalam kehidupan ormas tersebut. Di pundaknya terpikul tanggungjawab hidup matinya HMI. Dan terbukti Sulastomo memang pantas untuk memimpin organisasi semacam HMI pada masa lalu, khususnya dalam menghadapi teror dari PKI dan para pendukungnya, begitu juga sebaliknya, tatkala Jakarta sudah semakin panas dengan aksi-aksi demontrasi untuk menganyang PKI. Dan ketika ada pemikiran untuk mengarahkan sasaran demontrasi kepada Bung Karno, Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI secara tegas menolak pemikiran semacam itu.

Menurut Sulastomo ada lima faktor yang meyebabkan HMI tidak bisa menerima ajakan atau pemikiran untuk mengarahkan demontrasi kepada Bung Karno. Pertama, menjaga jangan sampai terjadi konflik nasional. Kedua, boleh dibilang inkonstitusional. Ketiga, mempertimbangkan posisi ABRI. Keempat, secara moril, Bung Karno seorang pemimpin besar yang telah banyak jasanya bagi bangsa dan negara. Kelima, menjaga keselamatan HMI itu sendiri, mengingat KAMI ternyata dibubarkan oleh Bung Karno. Kebijaksanaan yang diambil dengan sikap hati-hati ini, bukan sekedar pertanggung jawabannya sebagai Ketua Umum PB HMI, tetapi juga kepentingan nasional.

Banyak temannya yang berhaluan keras menentang kebijaksanaan Sulastomo, namun sedikit pun ia tak bergeming dari pendiriannya. Sama seperti Bung Karno yang tak sehelai rambutpun bergeser dari prinsifnya untuk tidak membubarkan HMI, dari tuntutan Aidit. Dalam pada itu Sulastomo meminta kepada teman-temanya agar bisa menjalankan kebijaksanaan yang telah digariskan. “Sebagai seorang Ketua saya mempunyai semacam hak prerogatif”, tandasnya dengan nada pasti. Atas dasar lima faktor tersebut Sulastomo sebagai Ketua Umum PB HMI menyatakan: “HMI tidak bermaksud mendongkel Bung Karno” Memang dalam aksi demontrasi yang cukup panas di tahun 65-an, banyak organisasi yang mengarahkan aksi demontrasinya kepada Bung Karno. Dan Sulastomo sebagai seorang Ketua Umum PB HMI setidaknya telah berupaya untuk melarang teman-temanya berbuat semacam itu.

Sulastomo yang mengaku pernah menari lenso dengan Bu Hartini di Istana Bogor, ternyata dalam bukunya setebal 150 halaman ini masih menanyakan dan penasaran: Mengapa Bung Karno tidak mau membubarkan HMI? Sedangkan Masyumi, BPS, Manikebu, KAMI, dllnya dapat dibubarkan oleh Bung Karno. Sayangnya, Bung Karno yang bisa menjawab semua ini sudah meninggal dunia dan tidak sempat meninggalkan pesan atau tulisan kepada HMI.

Sebuah teka-teki memang masih belum terjawab. “kata Sulastomo”. Tetapi, faktanya benar, bahwa meskipun didesak oleh Aidit di dalam Forum yang terbuka, Bung Karno bersikap tidak membubarkan HMI. “Hubungan HMI dan Bung Karno” seperti yang diungkapan oleh Sulastomo dalam bukunya ini, sangat menarik untuk kita pelajari dan setidaknya kita dapat melihat bahwa ada orang-orang diluar pendukung formal seperti PNI, yang dekat dengan Bung Karno.

Menulis kejadian disekitar tahun 1963-1966, menurut Sulastomo. “ tidaklah mudah, sebab banyak masalah politik yang terkait. Dan menjelaskan masalah politik, selamanya tidak akan mudah, meskipun itu hanya menyangkut sebuah organisasi mahasiswa, yaitu “HMI”. Kendati begitu, pada pronsifnya, minimal para pembaca telah mendapat satu wawasan, yaitu wawasan ke-HMI-an.

Judul buku : HARI HARI YANG PANJANG 1963-1966 Tebal : 150 halaman Penulis : Sulastomo Penerbit : CV HAJI MASAGUNG, Jakarta Agustus 1989