08 May 2008

Hipotesis Untuk Bung Karno

Membaca tulisan sahabat Tarib Malueka (TM) berjudul Upaya Mendiskreditkan Bung Karno Tidak Akan Berhasil (Simponi edisi 30 Juni 19993). Pada prinsipnya saya sepakat. Tulisan itu antara lain mengulas tulisan saya sebelumnya yang berjudul Pilar-Pilar Api Islam (Simponi edisi 16 Juni 1993), yang memang merupakan sebuah catatan buatannya (atas tulisannya yang berjudul Relevansi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Bung Karno (Simponi edisi April 19993). Bahwa pendapat kita saling melengkapi, namum begitu saya tetap melihat diantara kita ternyata ada perbedaan Penekanan. Pada tulisan sahabat TM tentang Relevansi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Bung Karno, sahabat TM menempatkan alur pemikiran kedua tokoh sebagai obyek penulisannya. Oleh karena itu catatan yang saya berikan berkisar pada alur pemikiran pula dengan mengedepankan satu pertanyaan: mengapa Bung Karno tidak ditempatkan sebagai tokoh pembaru Islam Indonesia? Sesungguhnya pertanyaan saya itu mengandung satu hipotesis bahwa Bung Karno adalah salah seorang pembaru Islam. Untuk menguci hipotesis saya itu, formil saya mengajak sahabat TM untuk meneliti dan mempelajari kembali pemikiran Bung Karno. Akan tetapi hakekatnya saya mengajak semua pihak, sehingga muncul pemikiran yang obyektif terhadap gagasan pemikiran Bung Karno termasuk didalamnya pembaruan Pemikiran Islamnya. Sayangnya pada tulisan berikutnya (Upaya Mendiskreditkan Bung Karno tidak akan Berhasil), sahabat TM justru cenderung memakai logika politik, dengan menunjukan berbagai usaha yang mendiskreditkan Bung Karno. Tentang hal itu saya juga bisa menambah bahwa akar dari segala usaha pendiskreditkan Bung Karno adalah: tap MPRS no. 32/1967, yang sesungguhnya merupakan biangkerok dari upaya Desoekarnosasi.

Terhadap upaya pendiskreditan Bung Karno, sedikitpun saya tidak merasa heran dan khawatir. Tapi ada satu hal yang penting, setelah 23 tahun kita ditinggalkan Bung Karno dan setelah lebih 25 tahun Orde Baru berperan, agaknya sebagai bangsa kita hanya memiliki satu wilayah, tampa elan dan cita-cita. Tampa mengecilkan peran dan pengaruh para pejuang dan pemikir lainnya, akhirnya kembali kepada Bung Karno-lah kita menemukan elan dan cita-cita, sebuah visioner, hari depan. Hal ini nampak jelas kenapa pada bangsa ini, khususnya generasi mudanya merindukan figur semacam Bung Karno. Kecenderungan ini akan berakibat fatal, jika yang mencul kemudian hanya slogan politis dan sikap nostalgia yang diturunkan generasi tua kepada generasi muda. Akibatnya yang muncul adalah kultus individu tampa makna pemahaman terhadap pemikiran Bung Karno. Menghindari kecenderungan yang kurang baik seperti diatas, sudah saatnya kita menempatkan Bung Karno tidak hanya dalam bahasa-bahasa pemikiran. Untuk itu pendekatan ilmiah (rasional: logis dan dialektis) sangat dibutuhkan demi pengertian yang obyektif terhadap Bung Karno.

Upaya pendekatan ilmiah tidak perlu dicurigai sebagai satu usaha untuk merevisi pemikiran Bung Karno. Disamping itu jangan pula melibatkan pendekatan ilmiah hanya berlaku untuk kalangan para Akademi saja. Pengerian usang ini harus segera kita tinggalkan demi kemajuan. Pendekatan ilmiah terhadap pemikiran Bung Karno akan menolong kita secara sistematis, sehingga muncul pengertian obyektif. Untuk itu kita bisa menggunakan berbagai metoda ilmiah, antara lain: 1. Deskriptip (pemaparan, menggunakan: sember-sumber primer dan skunder yang otentik dan representatif). 2. Analitik(menarik kesimpulan dan atau penilaian dengan jujur, menggunakan data dan fakta yang ada: bukan mengada-ada). 3. Exploratif (mengangkat sesuatu dengan berbagai pendekatan). Sebagaimana layaknya pendekatan ilmiah, maka dibutuhkan hipotesis (kesimpulan sementara) tertentu dan dengan mengedepankan berbagai pertanyaan dan pemasalahan yang dihadapi.

Terhadap perkembangan pemikiran Islam ditanah air, telah saya singgung diatas, sedangkan terhadap Fenomena dan Realita global dapatkah kita menempatkan satu hipotesis To Build The Word Anew-nya Bung Karno mampu membangun tata dunia baru yang lebih adil? Kemudian terhadap masalah nasional, seperti masalah kemiskinan, dapat pula kita mengedepankan satu hipotesis: Sosialisme ala Indonesia (dulu pernah dikenal dengan istilah Marhaenisme) sebagai metoda pendekatan pemerataan sanggupkah mengetas kemiskinan? Selanjutnya kita bisa mengedepankan hipotesis-hipotesis lainnya dengan berbagai pernyataan dan permasalahan yang dihadapi, kita mencoba menggumili alur pemikiran Bung Karno secara ilmiah (rasional: logis dan dialektis).

Dengan menepatkan pendekatan ilmiah, kembali pada tema pokok pemikiran Islam Bung Karno, maka pertanyaan sahabat TM seperti: karya-karya pemikiran Bung Karno tidak terlalu banyak sehingga tidak perlu heran jika Bung Karno tidak ditempatkan sebagai pembaru Islam di Indonesia, adalah kurang tepat. Pertama, masih banyak tulusan-tulisan Bung Karno yang belum terhimpun, khususnya perioderasi 1920-1926 dimana waktu itu Bung Karno banyak menulis di Suratkabar Oetoesan Hindia, sebuah surat kabar yang dikelola oleh Sarekat Islam pimpinan Tjokroaminoto, Kedua, DR. Ridwan Lubis dalam desertasinya tentang pemikiran Islam Bung Karno dan unsur-unsur Pembaharuan, untuk program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menjelaskan bahwa, setiap kali Bung Karno berbicara tentang politik terkandung pula didalamnya pemikiran Islamnya. Dan sebaliknya setiap kali Bung Karno berbicara tentang Islam terkandung pula pemikiran politiknya. Saling keterkaitan tersebut, menurut DR. Ridwan Lubis telah mematangkan pergulatan pemikirannya seperti tampak pada filsafat Pancasila yang dikemukakan tampa teks dalam pidato 1 Juni 1945 dihadapan sidang BPUPKI.

Memang untuk semetara waktu metode pendekatan ilmiah masih sangat tabu bagi kalangan masyarakat umumnya. Namum bagi kalangan masyarakat terdidik pendekatan ilmiah adalah sesuatu yang harus diupayakan setiap saat dalam menelaah berbagai persoalan. Oleh karena itu terhadap pemikiran Bung Karno baru kalangan Pengurus Tinggi saja yang dengan seksama, melalui berbagai penulisan skripsi sehingga disertai menggunakan metode ilmiah. Sudah saatnya kita melangkah ke depan dengan menggunakan metode ilmiah populer untuk mempelajari pemikiran Bung Karno, sehingga hasil studi kita bisa kita permasalahkan di pelbagai media massa. Dengan demikian tidak menutup kemungkinan akan terjadi dialog dan satu polemik diantara kita. Hal itu sangat baik demi pemahaman dan pengertian yang obyektif terhadap pemikiran Bung Karno.

Sesungguhnya disamping penghayatannya yang tuntas akan nasib rakyat dan bangsanya yang terjajah, pergulatan pemikirannya yang panjang dan tak jarang terlibat polemik yang tajam, maka Bung Karno juga berhasil melahirkan gagasan-gagasan pemikiran yang mendasar, orisinil dan berkuavisioner. Bukan mustahil dengan polemik pula justru kita akan melihat lebih jelas relevansi pemikiran Bung Karno. Sayangnya polemik-polemik seputar Bung Karno belakangan ini cenderung berlangsung pada dataran suka atau tidak suka, bukan pada dataran pengkajian pemikirannya dan sejauh mana relevansinya bagi kehidupan kekinian. Somoga tanggapan saya ini menjadi bahan renungan sahabat TM dan generasi muda lainnya yang mempunyai hak yang sama.

Catatan Redaksi dengan tulisan ini yang macam “Polemik” yang terjadi antara Tarib Lueka dan Gazhali Wadji dianggap berakhir

Oleh: Gazhali Wajdi