BUNG KARNO masih terus dikaji orang. Sebagian besar mempelajari Bung Karno secara oral, lewat pidato-pidatonya yang mnggelegar namum penuh nilai. Sedangkan sebagian lainnya mengkaji pikiran Bung Karno dalam bentuk tulisan.
Salah seorang yang mengkaji Bung Karno dalam bentuk tulisan, adalah Dr. Muhammad Ridwan Lubis, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melalui disertasinya yang kini dibukukan, berjudul Pemikiran Soekarno Tentang Islam dan Unsur-unsur Pembaharuannya (CV Haji Mas Agung, 283 halaman)
Menjelaskan perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. Ridwan Lubis mengemukakan adanya dua kecenderungan, yang dikembangkan oleh kelompok pesantren, yang oleh banyak kalangan digolongkan kedalam kelompok tradisional, dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai pembaru Islam. Ia menjelaskan, meskipun Bung Karno membentuk rumusan-rumusan mewakili pemikirannya, sejak Mahaenisme, Nasionalis, Pancasila, hingga Marxisme dan Islamisme, pandangannya tentang Islam tetap terlihat jelas. Ditekankan, ada dua hal tentang pemikiran Islam Bung Karno, termaktub dalam: pandangannya tentang Ketuhanan, peranan Sains dalam memahami Al Qur’an dan Hadis, Islam dan perubahan Sosial, Takbir, pandangan Islam tentang Kemanusian, masalah Riba dan Bank, serta masalah hubungan Agama dan Negara.
Ridwan juga menguraikan secara Sistematis dan Analitik, polimik Bung Karno dengan Siradjuddin Abbas, Kiai Machfoedz Siddig, A. Moehlis (nama samaran: M. Natsir), Tengkoe Mhd, Hasbi, M.S. (nama samaran : A. Hasan) Adil, Agus Salim, Faisal Haq dan lain-lain. Mereka kecuali Faisal Haq-umumnya menolak pemikiran Bung Karno. Dari uraian ini terlihat jelas, betapa pemikiran Islam Bung Karno sangat kontroversial pada masanya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, secara perlahan umat Islam Indonesia menyadari benarnya konsep itu merupakan kerangka pemikiran yang paling memungkinkan dilaksanakan di Indonesia, guna menampung berbagai aspirasi masyarakat.
**********
SEBAGAI seorang yang harus kritis. Dr. Muhammad Ridwan Lubis menyarankan kita untuk bersikap adil dalam memandang pemikiran Islam Bung Karno. Dahm kurang objektif menilai pandangan keagamaan Bung Karno. Dahm berpendapat, “Sulit menangkap rasa keagamaan Soekarno yang fundamental karena sikap netral agamanya, sekurang-kurannya sebelum pengasingannya ke Ende. Sekalipun ia tidak secara total meniadakan Tuhan seperti Komunis, namun dengan menjadikan partainya terbuka untuk semua aliran, sulit untuk melihat agama yang menjadi peganggannya”(hlm:72). Pernyataan Dahm ini menurut Ridwan Lubis terlalu berlebih-lebihan, karena mendasarkan keislaman itu hanya pada sikap politik saja. Soekarno sendiri menyatakan kenyakinannya semakin bertambah kepada Islam dan merasakan sungguh-sungguh sebagai penganut Islam. Disamping itu ia giat berusaha memahami Al Qur’an dan Hadis dan merasa telah memahami Tuhan. Dalam tulisannya setelah keluar dari penjara Sukamiskin, tergambar adanya perasaan yang menggumuli dirinya. Pertama, keyakinannya semakin teguh terhadap kebenaran Islam. Kedua, rasa irinya yang mendalam melihat kegiatan misi Kristen melakukan bimbingan kepada narapidana sebelum mengajak mereka masuk Kristen, sementara dakwah Islam kurang ditata dengan baik sehingga kurang dirasakan artinya oleh penghuni penjara. Menurut Soekarno, Muhammadiyah telah menggarap kegiatan dakwah di penjara, namun tetap saja tidak bisa mengimbangi misi Kristen itu. (hlm: 73).
Nampaknya penjara Sukamiskin bagaikan “pesantren” bagi Bung Karno untuk mendalami dan menghayati ajaran Islam. Studi ini kemudian dilanjutkan di Ende, dalam kapasitas yang sama sebagai tahanan politik rezim kolonial Belanda. Pada masa ini Bung Karno menjalin hubungan dengan A. Hasan yang banyak mengirimi buku-buku keagamaan seperti Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-ukhtar, Debat Talqin, Al-Burhan, Al-Jawahir, Soal-Jawab. Jika kita perhatikan buku-buku yang dikirim oleh A. Hasan kepada Bung Karno nampak bahwa hubungan Bung Karno dengan A. Hasan lebih menyangkut masalah peribatan. Sedangkan yang berhubungan dengan masalah muamalah koteksnya dengan ajaran dan gagasan Islam sudah digumulinnya sejak mondok dirumah Cokroaminito. Itulah sebabnya ketika ia mendapat kiriman “brosur A.D. Hanie tentang cara pemerintahan Islam, yang menyebut sistem Parlementaire Demokratie identik dengan cita-cita Islam, Soekarno mengeritiknya, karena kurang sesuai dengan perkembangan zaman (hlm. 74-75).
Kritik dan pandangan Bung Karno membawa pada “kegiatan pemikirannya yang lain berkaitan dengan masalah politik, yaitu merenungkan akar-pemikiran Bangsa Indonesia. Soekarno mempunyai kebiasaan duduk berjam-jam dibawah pohon Sukun dipinggir pantai., menyaksikan hampaan gelombang samudra yang datang sambung-menyambung. Pasang naik dan pasang surut gelombang itu dianalogikanya dengan geloranya revolusi yang melambangkan dinamika dan tidak mengenai batas, namun semuanya termasuk dirinya adalah ciptaan dan tunduk dibawah aturan Yang Mahaada “(hlm. 74).
Dari renungan itulah. Bung Karno punya kemampuan luar biasa dalam menjawab pertanyaan Ketua Sidang BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat yang menanyakan tentang dasar yang hendak dipakai dalam Indonesia merdeka. Bung Karno menjawabnya dengan Pancasila. “Rumusan Pancasila adalah karya puncak Soekarno dalam perantauan intelektualnya. Ide itu mulai direnungkannya sejak masa persiapanya menjadi pemimpin di Surabaya, dan dimatangkannya sewaktu di Ende. Pancasila dan pengkajian tentang Islam adalah dua kegiatan yang dilakukan secara serentak di Ende. Oleh karena itu hasil pemikiran tentang dua hal ini saling mempengaruhi. Pandangan keislamnya juga sudah termasuk dalam Pancasila, demikian pula pandangan tentang politik telah masuk dalam pemahaman keislaman” (hlm. 105).
**********
MESKIPUN Ridwan mengritik pendapat Dahm tentang sikap keagamaan Bung Karno, namun secara jujur dan objektif ia juga mengakui kebenaran dari hasil studi Dahm. “bahwa kerangka pemikiran Soekarno tentang Islam terdiri dari tiga hal, dan disinilah dapat dikembalikan semua rumusan pemikiran Soekarno. Ketiga hal itu adalah: “(1) tidak ada agama selain Islam yang lebih menekankan persamaan, (2) tidak ada agama selain Islam yang lebih sederhana dan rasional, (3) Islam adalah kemajuan”. (hlm.135). Ketika kerangaka itu dianalisis, sehingga seluk beluk dan pertautan pemikiran Islam Bung Karno, dengan kondisi objektif-subjektif, baik bagi umat Islam umumnya maupun yang di Indonesia, menemukan jelujur-jelujur benang merahnya. Pemikiran Islam Bung Karno tidak sedikit membawa unsur-unsur pembaruan.
Soekarno dapat dimasukkan ke dalam kelompok pembaruan Islam di Indonesia, yang berusaha menunjukan, bahwa penyebab kemunduran umat Islam pada abad-abad terakhir ini karena mereka telah menyimpang dari hakekat ajaran yang mereka anut...(hlm. 146). Jika Abduh berpendapat bahwa peradapan sejati sesuai dengan Islam, sementara Farid Wadji berpendapat Islam yang sejati sesuai degan peradapan. “Dalam hal ini tampaknya Soekarno lebih cenderung kepada orientasi pemikiran Farid Wadji”. (hlm. 143). Bung Karno memang sependapat dengan Farid Wadji tentang kemerdekaan roh, akal dan pengetahuan.